Friday, May 22, 2015

GHURABA’ (Yang Asing Yang Beruntung)

GHURABA’ (Yang Asing Yang Beruntung)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَال َ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ قال : بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيباً فَطُوبىَ لِلْغُرَبَاءِ

Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah bersabda, “Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali terasing seperti semula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing”

Tentang Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab shahihnya, dari Abu Hurairah, Selain meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, Imam Muslim juga meriwayatkan hadis dari Ibn Umar dengan teks yang sedikit berbeda dan ada beberapa kalimat tambahan.

Selain Muslim, di dalam kutub tis’ah (sembilan kitab hadis induk), hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab al-Musnad dari Sa’d bin Abi Waqqash, Abdullah bin Amru bin Ash, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah dan Abdurahman bin Sanah dengan teks yang bermacam-macam tetapi pengertiannya sama. Ibnu Majah di dalam as-Sunan karangannya meriwayatkan dari Anas bin Malik, Adullah bin Mas’ud, dan Abu Hurairah. Sedangkan ad-Darimi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud saja. at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Amr bin ‘Auf. Selain menyebutkan dua riwayat itu at-Tirmidzi juga menambahkan bahwa hadis seperti ini diriwayatkan juga dari beberapa shahabat seperti Sa’d, Ibnu Umar, Anas dan Ibnu Amr bin Ash.

Dari gambaran di atas, dapat dilihat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh banyak shahabat. Di dalam kutub tis’ah saja ada 6 shahabat yang disebut meriwayatkan hadis ini. Selain para shahabat tersebut di kutub tis’ah, ath-habrani di dalam kitab Mu’jamnya, baik ash-shaghir, Ausath, maupun al-Kabir menyebut beberapa riwayat dari shahabat lain seperti Sahl bin Sa’d as-Sa’idi, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, dan Abu Sa’id al-Khudri. Dengan demikian jumlah keseluruhan shahabat yang meriwayatkan hadis tersebut di dalam berbagai kitab hadis bisa melebihi 10 orang shahabat.

Apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil bersepakat untuk mengadakan kedustaan, maka hadis itu dinamakan hadis mutawatir. Para ulama’ berbeda-beda dalam menentukan batas minimal kriteria mutawatir. Ada yang menyebugtkan 10 orang, ada yang mematasinya hingga 40 orang, dan ada yang hanya 4 orang saja. Bahkan Taqiyuddin an-Nabhani tidak membatasinya, yang penting jumlahnya banyak dan secara logika mustahil melakukan kesepakatan dusta.

Hadis mutawatir dinyatakan memiliki kepastian yang meyakinkan dalam soal keberasalannya dari Rasulullah (qath’iy al-wurud). Adanya kepastian asal dari Rasulullah ini menjadikan hadis mutawatir harus diyakini adanya. Maka hadis mutawatir tidak perlu diteliti shahih atau tidak sudah harus diyakini bahwa hadis itu benar-benar berasal dari Rasulullah. Dan kewajiban kita adalah mengimaninya, mempelajarinya, lalu mengamalkannya sekuat tenaga.

Demikianlah, hadis yang kita kaji ini adalah hadis mutawatir, yang sangat meyakinkan berasal dari Rasulullah. Karena itulah memahami maknanya mejadi sesuatu yang urgen agar kita bisa mengambil hikmah yang dikandungnya.

Makna Gharib (Asing)

Hadis ini diawali dengan pernyataan bahwa Islam bermula dalam keadaan asing

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبا

Kata Gharib yang terdapat di dalam hadis tersebut berasal dari kata gharaba. Di dalam kamus disebutkan bahwa kata gharaba ini memiliki banyak makna. Muhammad Murtadla az-Zubaidi dalam Syarh al-Qamus menyebutkan 34 makna, di antaranya adalah jauh, tersembunyi, bepergian, jarang, dan tidak terkenal.

Dai sekian banyak makna, ghurbah (keterasingan) ini bisa dibagi menjadi dua macam; keterasingan secara fisik dan keterasingan non-fisik.

Keterasingan secara fisik bisa diilustrasikan dengan orang yang bepergian jauh dari tanah kelahirannya, atau negeri tempat tinggalnya. Maka dia akan merasakan asing dengan budayanya, dengan orang-orang di sekitarnya, masakannya dan lain-lainnya. Tetapi keterasingan fisik seperti ini bisa diatasi dengan adaptasi dan banyak bergaul, dan jika seseorang sudah banyak bergaul perasaan terasing akan bisa hilang.

Asing di dalam hadis ini tentu bukanlah asing dalam makna fisik, tetapi asing dalam makna non fisik. Keterasingan ini dirasakan oleh orang yang ada di negeri sendiri, di tengah-tengah masyarakatnya, bahkan ditengah-tengah keluarganya. Tetapi ketika umumnya masyarakat menggantungkan hatinya dengan berbagai gantungan duniawi, ia menggantungkan hatinya hanya kepada Allah, sebab Dialah tempat dirinya berasal dan berasalnya segala sesuatu. Maka saat itu orientasinya menjadi asing di mata manusia, bahkan tindakannya pun dinilai asing oleh kebanyakan manusia. Meskipun begitu, aneh tetapi justru itulah yang benar. Hasan al-Bashri mengatakan, “Orang mukmin di dunia itu seperti orang asing yang tidak risau terhadap kehinaannya dan tidak mau bersaing untuk mendapatkan kemuliaannya, karena ia memiliki suatu urusan sedangkan orang lain memiliki urusan yang lain.”

Keterasingan Pertama

Hadis ini memberikan gambaran bahwa ketika Allah menurunkan ajaran Islam kepada nabi Muhammad, maka ajaran Islam ini adalah sebuah ajaran yang asing. Tentang keterasingan ini kita bisa melihat dan membaca dari kitab-kitab sirah (sejarah kehidupan Nabi Muhammad).

Beberapa faktor yang menjadikan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah saw ini asing antara lain, adalah;

1. Islam mengajarkan tauhid yang murni. Dan hanya Islam sajalah ajaran yang murni dari Allah dan murni mentauhidkan Allah. Sementara ajaran-ajaran agama lainnya ada yang murni buatan manusia untuk menyembah selain Allah. Dan ada pula wahyu Allah yang telah dirusak oleh tangan-tangan manusia yang kotor dan bercampur dengan kemusyrikan. Kemurnian tauhid saat itu adalah barang langka yang tak dikenal oleh manusia.

2. Pada umumnya masyarakat terjebak ke dalam taqlid buta yang fanatik. Mereka susah diajak berfikir kritis rasional dan ilmiah. Ketika mereka kalah berargumen mereka hanya mengatakan, kami mendapatkan nenek moyang melakukan seperti ini, dan kami hanya melestarikannya saja.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? (al-Baqarah:170)

3. Ahli kitab yang seharusnya mereka telah mengetahui kebenaran ajaran menjadi tidak jujur dan mengubah ajaran mereka disebabkan karena iri dan dengki. Mereka iri karena ternyata yang diutus menjadi Rasul terakhir bukan berasal dari mereka.

4. Selain ajarannya yang masih asing dalam kaca mata kaum jahiliyah, pengikutnya pun awal mulanya juga hanya beberapa gelintir saja. Tahun pertama da’wah Rasulullah saw baru berhasil mengislamkan beberapa orang saja. Semakin lengkaplah keterasingan ajaran yang belum dikenal secara luas di masyarakat Jahiliyah dengan sedikitnya jumlah pengikut dengan ajaran itu.

Meskipun kaum muslimin saat itu menjadi manusia asing di negeri mereka sendiri, tetapi karena keyakinan mereka yang sangat kuat akan benarnya ajaran yang dibawa oleh Rasulullah ini, sedikitpun mereka tidak pernah surut. Mereka bersabar dan istiqamah di dalam kebenaran ini meskipun harus menerima berbagai macam ujian. Meskipun tampil beda dan dicaci maki, diteror, bahkan disiksa mereka tetap PD (percaya diri) untuk mengajarkan agamanya.

Berakhirnya Keterasingan ini

Rasulullah saw, menjelaskan bahwa keterasingan Islam yang pertama ini terjadi hanya pada permulannya saja. Kita bisa membaca demikian karena beliau memulai penjelasannya dengan kata bada’a (memulai). Adanya kata tersebut di dalam hadis, bisa dimaknai bahwa setelah sekian lama beranjak dari permulaan, Islam akan dikenal dan pengikutnya semakin banyak.

Perjuangan yang gigih dan tak kenal lelah ini pelan-pelan membuahkan hasil yang menggembirakan. Semakin lama, orang yang menerima da’wah Islam semakin banyak. Penyebaran Islam pun semakin luas. Pengikutnya pun bukan hanya dari kalangan kelas menengah ke bawah, tetapi juga dari kalangan kelas atas. Meskipun begitu mereka tetap istiqamah, tidak mudah merasa puas.

Ketika Rasulullah berkesempatan untuk hijrah ke Yatsrib (Madinah), maka da’wah Islam memasuki era baru. Da’wah Islam semakin gencar, dan sambutan masyarakat pun semakin menggembirakan. Meskipun perlawanan Yahudi yang juga ada di Yatsrib semakin jelas, dan upaya kaum Quraisy untuk menghentikan da’wah Rasulullah semakin keras, namun minat masyarakat untuk mengikuti ajaran Islam ini pun tak terbendungkan. Bahkan akhirnya Kaum Quraisy bisa ditaklukkan, dan kaum Yahudi bida ditumpas. Maka masyarakat pun memasuki Islam dengan berbondong-bondong.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat. (an-Nashr:1-3

Dan sejak saat itu Islam berkembang pesat ke seluruh penjuru dunia, dan hilanglah predikat keterasingan itu. Maka Allah pun menyatakan agama Islam ini telah sempurna, dan paripurna pula tugas rasulullah saw dengan ditandai turunnya ayat;

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (al-Maidah:3)

Keterasingan kedua.

Setelah Islam berkembang pesat ke seluruh dunia, Rasulullah memberitahukan bahwa Islam akan kembali terasing.

وَسَيَعُودُ غَرِيباً كَمَا بَدَأَ

Ibnu Taymiyah menjelaskan, bahwa keterasingan yang kedua ini terjadi dalam salah satu dari dua kemungkinan;

Kemungkinan pertama, keterasingan ini terjadi setelah turunnya nabi Isa, setelah bertiupnya angin lembut. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan dari Khudzaifah bin al-Yaman, saat itu orang-orang yang baik agamanya akan diwafatkan oleh Allah. Kemudian yang tersisa hanyalah orang-orang yang mengaku beragama Islam, mereka meyakini Allah sebagai tuhan mereka tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara beribadah sesuai dengan tuntunan sunnah.

Kemungkinan kedua, adalah ketika berkembangnya bid’ah, dan umumnya manusia tidak mengenal sunnah. Saat itu ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan sunnah kembali terasing. Orang-orang yang mengikuti sunnah pun terasing kembali.

Agaknya mekna kedua inilah yang mendekati kepada kebenaran. Sebab pada makna pertama, tidak lagi memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap kehidupan sehingga kaum muslimin bisa mengikuti sunnah. Sementara di dalam berbagai riwayat lainnya Rasulullah saw menjelaskan lebih lanjut tentang sifat orang-orang yang terasing, mereka tetap eksis di tengah kesesatan manusia, sebagaimana yang akan dijelaskan selanjutnya, Insya Allah.

Keberuntungan Orang yang Terasing

Meskipun kaum itu terasing, tetapi merekalah kaum yang mendapatkan keberuntungan, sebagaimana sabda Rasulullah

فَطُوبىَ لِلْغُرَبَاءِ

Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menafsirkan kata thuba. Ada yang mengatakan bahwa thuba adalah nama pohon kecil di sorga, yang akan memberikan perlindungan kepada penghuninya selama 100 tahun. Tetapi ada yang mengaakan berasal dari kata thayyib (baik) sehingga hadis tersebut diartikan balasan yang baik dan kebaikan yang banyak akan diberikan kepada orang-orang yang terasing. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat, karena memberikan pengertian umum, mencakup segala kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan pendapat pertama terbatas pada kebaikan di akhirat saja.

Kebaikan di dunia yang akan diterima oleh kaum ghuraba’ ini antara lain adalah ketenangan hidup, kemantapan hati, dan berbagai bantuan Allah untuk kemenangan mereka dari. Sementara keberuntungan di akhirat diberikan dengan jannatun na’im.

Sifat-sifat Ghuraba’

Setelah Rasulullah saw menyebutkan bahwa orang-orang yang terasing itu justru beruntung, di dalam beberapa riwayat beliau ditanya, siapakah yang termasuk orang-orang yang terasing itu, maka beliau menjawab;

الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ

Orang-orang yang mengadakan perbaikan ketika manusia sudah rusak, orang yang maksiat lebih banyak daripada orang yang taat (HR Ahmad)

Di dalam riwayat yang lain Imam Ahmad menyebutkan jawaban nabi saw adalah;

أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِي أُنَاسِ سُوءٍ كَثِيرٍ

Orang-orang yang baik di tengah-tengah orang-orang jahat yang merajalela (HR Ahmad)

Di dalam riwayat Ibnu Majah beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban;

النُّزَّاعُ مِنْ الْقَبَائِلِ

Orang-orang yang dikucilkan dari kabilah (HR Ibnu Majah)

Berpijak pada hadis-hadis tersebut, kita bisa menegaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang terasing adalah

1. Orang yang berpegang kepada al-Qur’an dan sunnah.

Ia senantiasa memperbaiki agamanya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah dan dengan metode pemahaman pada pendahulu ummah yaitu para shahabat dan tabi’in. Mereka layak menjadi rujukan dalam metode pemahaman Islam, sebab pemahaman mereka adalah pemahaman yang lurus. Karena lurusnya keberagamaan mereka itulah para shahabat rasul mendapat sebutan radliyallahu ‘anhu (Allah telah meridlai mereka) di dalam beberapa ayat. Selain itu Allah dan Rasulnya telah memuji mereka karena kebaikan mereka di berbagai ayat dan hadis. Firman Allah

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (An-Nisaa’: 115)

Yang dimaksud dengan orang mukmin pada ayat di atas adalah para shahabat, sebagaimana ayat berikut ;

فَإِنْ آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-baqarah :137)

Dlamir (kata ganti) kalian di dalam ayat ini bisa difahami sebagai rasulullah dan para shahabat. Sebab kaum muslimin yang langsung berhadapan dengan turunnya ayat adalah rasul dan para shahabat. Maka ayat ini bermakna, bahwa orang yang beriman tidak seperti berimannya para shahabat maka sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan.

Kemudian Rasulullah saw juga menyebutkan bahwa pemahaman agama para shahabat itulah pemahaman yang benar sebagaimana bisa kita lihat di dalam hadis berikut ;

وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Dan ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akanmasuk neraka kecuali hanya satu golongan saja. Para shahabat bertanya, “Siapakah dia, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sesuatu yang aku dan para shahabatku ada di atasnya” (HR at-Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan satu golongan yang selamat adalah golongan yang meneladani keberagamaan Rasulullah dan para shahabat. Tetapi di sini ditambahkan para tabi’in, sebab di dalam hadis yang lain Rasulullah saw bersabda;

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya (al-Bukhari)

Kita bisa merasakan saat ini orang yang berusaha mengikuti tuntunan al-Qur’an dan Sunnah dengan manhaj para shahabat dan tabi’in apa adanya tidak banyak. Orang yang benar dalam berpakaian sesuai tuntunan al-Qur’an dan sunnah tidak banyak. Yang benar dalam bergaul sesuai tuntunan al-Qur’an dan sunnah sedikit. Yang berusaha menghidupkan sunnah-sunnah rasul dalam hidupnya, juga sedikit.

2. Selain memperbaiki agama diri mereka, mereka pun senantiasa mendakwahkan kebenaran itu kepada manusia pada umumnya. Mereka melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, karena itulah syarat keunggulan agama ini di atas agama dan ajaran lainnya, sebagaimana firman Allah.

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kalian sekelompok ummat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam) dan memerintahkan kepada yang ma’ruf serta melarang yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung (Ali Imran :104)

3. Mereka sabar menghadapi berbagai ujian dan cobaan

Berbagai usaha mereka lakukan untuk kebaikan diri mereka dan kebaikan masyarakat. Namun sambutan yang mereka terima justru sikap negatif, mereka dikucilkan, dimusuhi, dibenci, diejek dan berbagai sikap yang tidak menyenangkan lainnya. Meskipun demikian mereka tetap bersabar, tidak mundur walau setapak pun. Sehingga kesabaran ini mendapatkan penghargaan yang sangat tinggi dari Allah swt ;

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ

Akan datang suatu masa, orang yang sabar dalam memegang agamanya di masa itu seperti orang yang memegang bara api (HR at-Tirmidzi)

Rasulullah menjanjikan, mereka akan mendapatkan 50 kali lipat pahala para shahabat, apabila bisa bersabar;

فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ الْقَبْضِ عَلَى الْجَمْرِ لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِكُمْ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ وَزَادَنِي غَيْرُ عُتْبَةَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنَّا أَوْ مِنْهُمْ قَالَ بَلْ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْكُمْ

Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari, kesabaran pada sat itu seperti menggenggam bara api. Orang yang beramal (dengan sabar) pada saat itu mendapatkan pahala seperti pahala 50 orang yang beramal seperti amal kalian. Abdullah bin Mubarak mengatakan, “telah ditambahkan penjelasan kepadaku dengan jalan selain Utbah, ada shahabat yang bertanya: Wahai Rasulullah saw, pahala 50 dari kami atau dari mereka. Beliau menjawab, “Pahala 50 orang dari kalian” (at-Tirmidzi)

Luar biasa… Demikian besar pahala yang dijanjikan oleh Rasulullah. Persoalannya sekarang, siapkah kita menjadi salah satu dari generasi al-Ghuraba’ ini?

Sumber :
https://ahlulhadis.wordpress.com/2008/01/15/ghuraba-yang-asing-yang-beruntung/

No comments:

Post a Comment