Tuesday, May 5, 2015

Dialog Sunni Vs Wahabi Mengenai Maulid Nabi

DIALOG SUNNI VS WAHABI MENGENAI MAULID NABI

Wahabi: “Mengapa anda mengerjakan Maulid. Padahal itu bid’ah.”

Sunni: “Maulid itu perbuatan baik, dan setiap kebaikan diperintah oleh agama untuk dikerjakan.”

Wahabi: “Mana dalilnya?.”

Sunni: “Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:
ﻭَﺍﻓْﻌَﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Kerjakanlah semua kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. al-Hajj : 77).

Maulid itu termasuk kebaikan, karena isinya sedekah, mempelajari sirah Nabi SAW dan membaca shalawat. Berarti masuk dalam keumuman perintah dalam ayat tersebut.”

Wahabi: “Itu kan dalil umum. Tolong carikan dalil khusus dalam al-Qur’an yang menganjurkan Maulid.”

Sunni: “Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, tolong jelaskan dalil anda yang melarang Maulid.”

Wahabi: “Dalil kami sangat jelas. Maulid itu termasuk bid’ah. Setiap bid’ah pasti sesat. Rasulullah SAW bersabda: “Kullu bid’atin dholalah.” Setiap bid’ah adalah sesat.”

Sunni: “Ah, kalau begitu dalil anda sama dengan dalil kami, sama-sama dalil umum. Yang saya minta adalah, jelaskan ayat atau hadits yang secara khusus melarang maulid.”
Di sini, ternyata si Wahabi mati kutu, dan tidak bisa menjawab.

Akhirnya si Sunni berkata: “Anda percaya kepada Syaikh Ibnu Taimiyah?”

Wahabi: “Ya tentu. Beliau itu Syaikhul Islam, ulama besar, dan inspirator dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, panutan kami kaum Wahabi.”

Sunni: “Syaikh Ibnu Taimiyah, membenarkan dan menganjurkan Maulid, dalam kitabnya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 621.” Lalu si Sunni menunjukkan teks asli kitab tersebut. Akhirnya si Wahabi terkejut dan terperangah. Mucanya seketika menjadi pucat. Kitab tersebut, dia bolak balik, ternyata penerbitnya juga orang Wahabi di Saudi Arabia. Akhirnya ia berkata:

Wahabi: “Syaikh Ibnu Taimiyah itu manusia biasa. Bisa salah dan bisa benar. Masalahnya Maulid ini tidak memiliki dasar agama yang dapat dipertanggung jawabkan.”

Sunni: “Menurutmu, dasar agama itu apa saja?”

Wahabi: “Al-Qur’an dan Sunnah saja. Selain itu tidak ada lagi.”

Sunni: “Sekarang saya bertanya kepada Anda. Bagaimana hukum seorang anak memukul orang tuanya?”

Wahabi: “Jelas haram dan dosa besar.”

Sunni: “Tolong jelaskan dalil al-Qur’an atau hadits yang melarang memukul orang tua.”

Wahabi: “Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an;
ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻘُﻞْ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺃُﻑٍّ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻨْﻬَﺮْﻫُﻤَﺎ
“Maka janganlah kamu berkata uff kepada kedua orang tua dan jangan pula membentaknya.”
Dalam ayat tersebut, Allah melarang seorang anak berkata uff, atau berdesis terhadap orang tua, karena jelas akan menyakiti mereka. Apabila berkata uff saja dilarang karena menyakiti, apalagi memukul. Tentu lebih berat dalam hal menyakiti, dan keharamannya lebih berat pula dari pada sekedar berkata uff.”

Sunni: “Owh, ternyata di sini Anda menggunakan
dalil Qiyas. Tadi Anda berkata, dalil itu hanya al-Qur’an dan Sunnah. Sekarang justru Anda menggunakan dalil Qiyas. Berarti Anda mengakui Qiyas termasuk dalil, selain al-Qur’an dan Sunnah.”

Wahabi: “Ini kan Qiyas aulawi, dalam artian hukum yang dihasilkan oleh produk Qiyas, lebih kuat dari pada yang ditunjuk oleh teks.”

Sunni: “Harusnya Anda tidak membatasi dalil pada al-Qur’an dan Sunnah saja. Tetapi juga menyebutkan Qiyas, sebagaimana dipaparkan oleh seluruh ulama salaf. Anda tahu, bahwa menurut teori Ushul Fiqih, yang juga diakui oleh Ibnu Taimiyah, produk hukum Qiyas aulawi, lebih kuat dari pada hukum yang diproduk oleh teks. Dalam artian, memukul orang tua lebih haram dan lebih
besar dosanya dari pada hanya sekedar berkata uff, karena volumenya dalam menyakiti lebih keras.”
Wahabi: “Di mana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan itu?”
Sunni: “Dalam kitab al-Musawwadah fi Ushul al-Fiqh.” Kemudian si Sunni menunjukkan teks pernyataan Ibnu Taimiyah dalam kitab tersebut.
Akhirnya si Wahabi semakin senang, karena kesimpulan hukumnya sesuai dengan kaedah yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam-nya.
Wahabi: “Terus apa hubungan pertanyaan Anda, dengan persoalan Maulid yang kita diskusikan?”
Sunni: “Hukum memukul orang tua lebih haram dari pada sekedar berkata uff. Logikanya begini, Anda tahu mengapa umat Islam dianjurkan
puasa Asyura?”
Wahabi: “Ya saya tahu. Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan:
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ - ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ - ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺪِﻡَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔَ ﻓَﻮَﺟَﺪَ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻳَﺼُﻮﻣُﻮﻥَ ﻳَﻮْﻡَ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻋَﻦْ
ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﺃَﻇْﻬَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻴﻪِ ﻣُﻮﺳَﻰ ﻭَﺑَﻨِﻰ ﺇِﺳْﺮَﺍﺋِﻴﻞَ ﻋَﻠَﻰ
ﻓِﺮْﻋَﻮْﻥَ ﻓَﻨَﺤْﻦُ ﻧَﺼُﻮﻣُﻪُ ﺗَﻌْﻈِﻴﻤًﺎ ﻟَﻪُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -
‏« ﻧَﺤْﻦُ ﺃَﻭْﻟَﻰ ﺑِﻤُﻮﺳَﻰ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ‏» . ﻓَﺄَﻣَﺮَ ﺑِﺼَﻮْﻣِﻪِ .
“Dari Ibnu Abbas RA berkata: “Rasulullah SAW datang ke Madinah, lalu menemukan orang-orang
Yahudi berpuasa Asyura. Lalu mereka ditanya, maka mereka menjawab; “Pada hari Asyura ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil menghadapi Fir’aun, maka kami berpuasa pada hari tersebut karena mengagungkannya.” Lalu Nabi SAW bersabda: “Kami lebih dekat kepada
Musa dari pada kalian.” Maka Nabi SAW
memerintahkan umat Islam berpuasa.”
Sunni: “Nah di sinilah hubungannya dengan Maulid. Memukul orang tua tadi Anda katakan lebih haram dari pada sekedar berkata uff.

Kemenangan Nabi Musa AS layak dirayakan dengan ibadah puasa, sedangkan lahirnya Rasulullah Muhammad SAW jelas lebih agung dari pada kemenangan Musa. Apabila kemenangan Musa AS layak dirayakan dengan suatu ibadah, maka sudah barang tentu lahirnya Nabi
Muhammad SAW lebih layak dirayakan dengan acara Maulid.”
Wahabi: “Owh jadi begitu ya, maksudnya. Apakah ada ulama yang menjelaskan pengambilan hukum Maulid dengan yang Anda sebutkan tadi dari kalangan ulama besar?”
Sunni: “Ya banyak sekali, antara lain al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Hafizh al-Suyuthi.”
Wahabi: “Tapi ada satu hal, yang saya kurang setuju dalam perayaan Maulid. Yaitu berdiri ketika membaca Ya Nabi. Itu jelas tidak ada dasarnya.”
Sunni: “Anda pernah menonton orang-orang
Wahabi di Saudi Arabia, ketika membaca nasyid
(syair atau lagu), secara berjamaah dan berdiri?
Kalau tidak tahu, silahkan Anda cari di Youtube,
di situ banyak sekali. Itu mengapa mereka
lakukan?”
Wahabi: “Ya itu kan bernyanyi dan bersyair
bersama. Kalau dengan cara duduk kurang asyik
dan kurang nikmat.”
Sunni: “Maulid juga begitu. Kalau menyanyikan Ya Nabi Salam sambil duduk, dengan suara yang keras, kurang asyik juga dan kurang terasa khidmat. Jadil hal ini tidak ada kaitannya dengan wajib atau sunnah.”

Akhirnya si Wahabi mengakui kebenaran Maulid secara syar’i. Alhamdulillah. Semoga bermanfaat

No comments:

Post a Comment